A. Manajemen Terpadu Balita
Sakit
1. Apakah
MTBS itu?
MTBS |
MTBS
singkatan dari Manajemen Terpadu Balita Sakit atau Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI dalam bahasa Inggris) adalah suatu pendekatan yang
terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada
kesehatan anak usia 0-5 tahun (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan
suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita
sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan
kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak
balita di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti Puskesmas, Pustu,
Polindes, Poskesdes, dll.
Bila
dilaksanakan dengan baik, upaya ini tergolong lengkap untuk mengantisipasi
penyakit-penyakit yang sering menyebabkan kematian bayi dan balita. Dikatakan lengkap
karena meliputi upaya kuratif (pengobatan), preventif
(pencegahan), perbaikan gizi, imunisasi dan konseling (promotif). Badan
Kesehatan Dunia WHO telah mengakui bahwa pendekatan MTBS sangat cocok
diterapkan negara-negara berkembang dalam upaya menurunkan kematian,
kesakitan dan kecacatan pada bayi dan balita.
Praktek MTBS memliliki 3 komponen khas yang
menguntungkan yaitu:
- Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana balita sakit (petugas kesehatan non-dokter yang telah terlatih MTBS dapat memeriksa dan menangani pasien balita)
- Memperbaiki sistem kesehatan (banyak program kesehatan terintegrasi didalam pendekatan MTBS)
- Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan balita sakit (berdampak meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan)
2. Mengapa
MTBS sangat cocok diterapkan di Puskesmas?
Pada
sebagian besar balita sakit yang dibawa berobat ke Puskesmas, keluhan tunggal
kemungkinan jarang terjadi, menurut data WHO, tiga dari empat balita
sakit seringkali memiliki banyak keluhan lain yang menyertai
dan sedikitnya menderita 1 dari 5 penyakit tersering pada balita yang
menjadi fokus MTBS. Pendekatan MTBS dapat mengakomodir hal ini karena dalam
setiap pemeriksaan MTBS, semua aspek/kondisi yang sering menyebabkan keluhan
anak akan ditanyakan dan diperiksa.
Menurut
laporan Bank Dunia (1993), MTBS merupakan jenis intervensi yang cost
effective yang memberikan dampak terbesar pada beban penyakit secara
global. Bila Puskesmas menerapkan MTBS berarti turut membantu dalam upaya
pemerataan pelayanan kesehatan dan membuka akses bagi seluruh lapisan
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang terpadu.
3. Sejarah
penerapan MTBS di Indonesia
MTBS telah diadaptasi pada tahun 1997 atas kerjasama antara
Kementerian Kesehatan RI, WHO, Unicef dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan terpadu dalam
tatalaksana balita sakit.
MTBS bukan merupakan program kesehatan,tetapi suatu standar
pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan
tingkat dasar. WHO memperkenalkan konsep pendekatan MTBS dimana merupakan
strategi upaya pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menurunkan angka
kematian dan kesakitan bayi dan anak balita di negara-negara berkembang.
Ada 3 komponen dalam penerapan strategiMTBS yaitu:
- Komponen I : meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan)
- Komponen II : memperbaiki sistem kesehatan agar penanganan penyakit pada balita lebih efektif
- Komponen III : Memperbaiki praktek keluarga
dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan
kasus balita sakit (meningkatkan pemberdayaan keluarga dan masyarakat,
yang dikenal sebagai “Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis
masyarakat”).
Untuk keberhasilan penerapan MTBS, proporsi penekanan pada
ketiga komponen harus sama besar.
4. Tujuan
MTBS :
§
Menurunkansecara bermakn aangka kematian dan
kesakitan yang terkait penyakit tersering pada balita.
§
Memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kesehatan anak.
Menurut data Riskesdas tahun 2007, penyebab kematian
perinatal 0 – 7 hari terbanyak adalah gangguan/kelainan pernapasan (35,9 %),
prematuritas (32,4 %), sepsis (12,0 %).Kematian neonatal 7 – 29 hari disebabkan
oleh sepsis (20,5 %), malformasi kongenital (18,1 %) dan pneumonia (15,4 %).
Kematian bayi terbanyak karena diare (42 %) dan pneumonia (24 %), penyebab
kematian balita disebabkan diare (25,2 %), pneumonia (15,5 %) dan DBD (6,8 %).
Penyakit-penyakit terbanyak pada balita
yang dapat di tata laksana dengan MTBS adalah penyakit yang menjadi penyebab
utama kematian, antara lain pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang
diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia). Langkah pendekatan pada
MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat
dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada Balita. Bank Dunia, 1993
melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian
balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak
malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut
Pendekatan MTBS di Indonesia pada awalnya dimanfaatkan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di unit rawat jalan kesehatan dasar
(Puskesmas dan jaringannya termasuk Pustu, Polindes, Poskesdes, dll). MTBS
mengkombinasikan perbaikan tatalaksana kasus pada balita sakit (kuratif) dengan
aspek gizi, imunisasi dan konseling ( promotif dan preventif). Agar penerapan
MTBS dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka diperlukan
langkah-langkah secara sistematis dan menyeluruh, meliputi pengembangan sistem
pelatihan, pelatihan berjenjang, pemantauan pasca pelatihan, penjaminan
ketersediaan formulir MTBS, ketersediaan obat dan alat, bimbingan teknis dan
lain-lain.
Dari kedua survey di atas, menunjukkan bahwa kematian neonatal
mendominasi penyebab kematian bayi dan balita. Puskesmas dikatakan sudah
menerapkan MTBS apabila memenuhi kriteria melaksanakan/melakukan pendekatan
MTBS minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.
Mengingat MTBS telah diterapkan di Indonesia sejak 1997 dan banyak pihak
yang telah berkontribusi dalam pelatihan MTBS, tentunya banyak tenaga kesehatan
yang telah dilatih MTBS dan banyak insitusi yang terlibat di dalamnya. Sudah
banyak fasilitator dilatih MTBS dan para fasilitator ini sudah melatih banyak
tenaga kesehatan, baik di tingkat desa dan puskesmas.
Keberhasilan penerapan MTBS tidak terlepas dari adanya monitoring pasca
pelatihan, bimbingan teknis bagi perawat dan bidan, kelengkapan sarana dan
prasarana pendukung pelaksanaan MTB termasuk kecukupan obat-obatan. Namun, hal
tersebut seringkali dihadapkan pada keterbatasan alokasi dana, sehingga
diperlukan suatu metode lain untuk meningkatkan ketrampilan bidan dan perawat
serta dokter akan MTBS melalui komputerisasi atau yang lebih dikenal dengan
ICATT (IMCI Computerize Adaptation Training Tools), yaitu suatu
aplikasi inovatifsoftware berbasis
komputer untuk MTBS yang mempunyai 2 tujuan:
a)
Untuk adaptasi pedomanMTBS
b)
Untuk pelatihan MTBS melalui komputer.
5. Bagaimana
cara menatalaksana balita sakit dengan pendekatan MTBS?
Seorang
balita sakit dapat ditangani dengan pendekatan MTBS oleh Petugas
kesehatan yang telah dilatih. Petugas memakai tool yang disebut
Algoritma MTBS untuk melakukan penilaian/pemeriksaan dengan cara menanyakan
kepada orang tua/wali, apa saja keluhan-keluhan/masalah anak kemudian memeriksa
dengan cara 'lihat dan dengar' atau 'lihat dan raba'. Setelah itu petugas akan
mengklasifikasikan semua gejala berdasarkan hasil tanya-jawab dan
pemeriksaan. Berdasarkan hasil klasifikasi penyakit, petugas akan menentukan
tindakan/pengobatan, misalnya anak dengan klasifikasi Pneumonia Berat atau
Penyakit Sangat Berat akan dirujuk ke dokter Puskesmas.
Contoh begitu sistematis dan terintegrasinya pendekatan MTBS, ketika anak sakit datang berobat, petugas kesehatan akan menanyakan kepada orang tua/wali secara berurutan, dimulai dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum seperti:
a.
Apakah anak bisa minum/menyusu?
b.
Apakah anak selalu memuntahkan
semuanya?
c.
Apakah anak menderita kejang ?
Kemudian petugas
akan melihat/memeriksa apakah anak tampak letargis/tidak sadar?
Setelah itu petugas kesehatan akan menanyakan keluhan utama
lain:
a.
Apakah anak menderita batuk
atau sukar bernafas?
b.
Apakah anak menderita diare?
c.
Apakah anak demam?
d.
Apakah anak mempunyai masalah
telinga?
e.
Memeriksa status gizi
f.
Memeriksa anemia
g.
Memeriksa status imunisasi
h.
Memeriksa status pemberian
vitamin A
i.
Menilai masalah/keluhan-keluhan
lain
Berdasarkan hasil
penilaian hal-hal tersebut di atas, petugas akan mengklasifikasi
keluhan/penyakit anak, setelah itu petugas melakukan langkah-langkah
tindakan/pengobatan yang telah ditetapkan dalam penilaian/klasifikasi. Tindakan
yang dilakukan dapat berupa:
a.
Mengajari ibu cara pemberian
obat oral di rumah
b.
Mengajari ibu cara mengobati
infeksi lokal di rumah
c.
Menjelaskan kepada ibu tentang
aturan-aturan perawatan anak sakit di rumah, misal aturan penanganan diare di
rumah
d.
Memberikan konseling bagi ibu,
misal: anjuran pemberian makanan selama anak sakit maupun dalam keadaan sehat
e.
Menasihati ibu kapan harus
kembali kepada petugas kesehatan
f.
dan lain-lain
Perlu diketahui, untuk bayi yang berusia s/d 2 bulan,
dipakai penilaian dan klasifikasi bagi Bayi Muda (0-2 bulan) memakai
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) yang merupakan bagian dari MTBS. Penilaian
dan klasifikasi bayi
Pemeriksaan
dan tindakan secara lengkap tentunya tidak akan diuraikan disini karena terlalu
panjang. Sebagai gambaran, untuk penilaian dan tindakan/pengobatan
bagi setiap balita sakit, pendekatan MTBS memakai 1 set Bagan Dinding
yang ditempelkan di tembok ruang pemeriksaan dan dapat memenuhi hampir
semua sisi tembok ruang pemeriksaan MTBS di Puskesmas dan formulir
pencatatan baik bagi bayi muda (0-2 bulan) maupun balita umur 2 bulan-5 tahun.
Sedangkan untuk pelatihan petugas, diperlukan 1 paket buku yang terdiri dari
7 buku Modul, 1 buku Foto, 1 buku Bagan, 1 set bagan dinding serta 1
set buku Pedoman Fasilitator dengan lama pelatihan selama 6 hari
ditambah pelajaran pada sesi malam.
Dinas
Kesehatan perlu memonitor secara berkala apakah Puskesmas di wilayah
kerjanya menerapkan MTBS? Bila belum menerapkan, mungkin Tenaga Kesehatan yang
bertugas disana perlu dilatih. Untuk itu perlu merencanakan kegiatan pelatihan MTBS dengan
jadwal penuh seperti yang dipersyaratkan.
Referensi :
Departemen Kesehatan RI, 2008, Modul MTBS Revisi tahun 2008.
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Depkes, salah satu materi yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Program Kesehatan Anak, 2009, Manajemen Terpadu Balita Sakit.
http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/3274
No comments:
Post a Comment