intra uterine fetal deadth (IUFD)
a.
Definisi
intra uterine fetal deadth (IUFD)
atau kematian janin dalam rahim adalah kematian janin dalam kehamilan sebelum
terjadi proses persalinan pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat
janin 1000 gram. (Moechtar R. Pedarahan
Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri
Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279)
IUFD
adalah kematian intrauterin sebelum seluruh produksi konsepsi manusia
dikeluarkan, ini tidak diakibatkan oleh aborsi terapeutik atau kematian janin
juga disebut kematian intrauterin dan mengakibatkan kelahiran mati. (Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP)
IUFD
adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan baik
pada kehamilan yang besar dari 20 minggu atau kurang dari 20 minggu. (Rustam
Muchtar, 1998)
IUFD adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. (Sarwono, 2005)
IUFD adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. (Sarwono, 2005)
b.
Etiologi
Adapun penyebab IUFD:
- perdarahan antepartum seperti plasenta previa dan
solusio plasenta
- pre eklamsi dan eklamsi
- penyakit kelainan darah
- penyakit infeksi menular
- penyakit saluran kencing
- penyakit endokrin sperti DM dan hipertiroid
- malnutrisi
Faktor
predisposisi IUFD
a. Factor ibu (High Risk Mothers)
a. Factor ibu (High Risk Mothers)
- status
social ekonomi yang rendah
- tingkat pendidikan ibu yang rendah
- umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurang dari 20
tahun
- paritas pertama atau paritas kelima atau lebih
- tinggi dan BB ibu tidak proporsional
- kehamilan di luar perkawinan
- kehamilan tanpa pengawasan antenatal
- ganggguan gizi dan anemia dalam kehamilan
- ibu dengan riwayat kehamilan / persalinan sebelumnya
tidak baik seperti bayi lahir mati
- riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu
b.
factor Bayi (High Risk Infants)
- bayi dengan infeksi antepartum dan kelainan congenital
- bayi dengan diagnosa IUGR (Intra Uterine Growth
Retardation)
- bayi dalam keluarga yang mempunyai problema social
c. factor
yang berhubungan dengan kehamilan
- abrupsio plasenta
- plasenta previa
- preeklamsi / eklamsi
- polihidramnion
- inkompatibilitas golongan darah
- kehamilan lama
- kehamilan ganda
- infeksi
- diabetes
- genitourinaria
c.
Diagnosis
1. Anamnesa/keluhan
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin
b. Perut tidak bertambah besar
2. Inspeksi
Tidak tampak gerakan janin
3. palpasi
- TFU
lebih rendah dari tuanya kehamilan
- Tidak
teraba gerakan janin
- Krepitasi
pada tulang kepala janin
4.Auskultasi
DJJ (-)
5. Reaksi kehamilan
test kehamilan (-)
6. Rontgen foto abdomen
DJJ (-)
5. Reaksi kehamilan
test kehamilan (-)
6. Rontgen foto abdomen
- Adanya
akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah janin
- Tanda nojosk : angulasi yang tajam
pada tulang belakang janin
- Tanda gernard : hiperekstensi kepala
janin
- dTanda spalding : overlapping sutura
7. USG
- Gerak anak tidak ada
- Denyut jantung anak tidak ada
- Tampak bekuan darah pada ruang jantung janin
8.Laboratorium
- Reaksi biologis negative setelah 10 hari janin mati
- Hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu janin mati
Kalau
janin mati pada kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahan-perubahan
sebagai berikut :
a. Rigor mortis
Berlangsung 21/2 jam setelah mati kemudian lemas lagi.
b. Maserasi Tingkat I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih. Tapi kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah mati.
c. Maserasi Tingkat II
Lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, jam setelah anak mati.
d. Maserasi Tingkat III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas, hubungan antar tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.
a. Rigor mortis
Berlangsung 21/2 jam setelah mati kemudian lemas lagi.
b. Maserasi Tingkat I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih. Tapi kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah mati.
c. Maserasi Tingkat II
Lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, jam setelah anak mati.
d. Maserasi Tingkat III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas, hubungan antar tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.
d.
Tanda dan gejala
- Terhentinya
pertumbuhan uterus, atau penurunan TFU
- Terhentinya
pergerakan janin
- Terhentinya
denyut jantung janin
- Penurunan
atau terhentinya peningkatan berat badan ibu.
- Perut
tidak membesar tapi mengecil dan terasa dingin
- Terhentinya
perubahan payudara
e.
Komplikasi
Ø Trauma
emosional yg cukup berat terjadi bila wktu antara kematia janin &
persalinan cukup lama
Ø Dapat
terjadi infeksi bila ketuban pecah
Ø Dapat
terjadi koagulasi
bila kematian janin berlangsung lebih
dari 2minggu.
Ø Kematian
janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak memvbahayakan ibu. Setelah
lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipofibrinogenemia)
akan lebih besar. Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi
rusak menghasilkan tromboplastin masuk kedalam peredaran darah ibu, pembekuan
intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit
terjadilah pembekuan darah yang meluas menjadi Disseminated intravascular
coagulation hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%).
Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.
Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.
f.
Penanganan
1.
Terapi
a. Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.
b. Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan seharusnya melakukan rujukan.
c. Menunggu persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996) memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan. Maka sering dilakukan terminasi kehamilan.
1) Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan.
Persiapan:
• Keadaan memungkinkan yaitu Hb > 10 gr%, tekanan darah baik.
• Dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu:pemeriksaan trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan waktu protombin.
Tindakan:
• Kuretasi vakum
• Kuretase tajam
• Dilatasi dan kuretasi tajam
2) Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus lebih dari 12 minggu sampai 20 minggu
• Misoprostol 200mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan batang laminaria 12 jam sebelumnya.
• Kombinasi pematangan batang laminaria dengan misoprostol atau pemberian tetes oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
Catatan: dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.
3) Pengakhiran kehamilan jika lebih dari 20 – 28 minggu
• Misoprostol 100 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan batang laminaria selama 12 jam.
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
• Kombinasi cara pertama dan ketiga untuk janin hidup maupun janin mati.
• Kombinasi cara kedua dan ketiga untuk janin mati.
Catatan: dilakukakan histerotomi bila upaya melairkan pervaginam dianggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu, dengan sepengetahuan konsulen.
4) Pengakhiran kehamilan jika lebih dari 28 minggu kehamilan
• Misoprostol 50 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam sebelum induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada KPD).
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan multigravida, 40 tetes untuk grande multigravida sebanyak 2 labu.
• Kombinasi ketiga cara diatas.
Catatan: dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan.
2 .periksa ulangan (follow up)
Dilakukan kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari. Dilakukan pemeriksaan nifas seperti biasa. Mengkaji ulang tentang keadaan psikologis, keadaan laktasi (penghentian ASI), dan penggunaan alat kontrasepsi.
a. Selama menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.
b. Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan seharusnya melakukan rujukan.
c. Menunggu persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996) memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan. Maka sering dilakukan terminasi kehamilan.
1) Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus tidak lebih dari 12 minggu kehamilan.
Persiapan:
• Keadaan memungkinkan yaitu Hb > 10 gr%, tekanan darah baik.
• Dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu:pemeriksaan trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan waktu protombin.
Tindakan:
• Kuretasi vakum
• Kuretase tajam
• Dilatasi dan kuretasi tajam
2) Pengakhiran kehamilan jika ukuran uterus lebih dari 12 minggu sampai 20 minggu
• Misoprostol 200mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan batang laminaria 12 jam sebelumnya.
• Kombinasi pematangan batang laminaria dengan misoprostol atau pemberian tetes oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
Catatan: dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.
3) Pengakhiran kehamilan jika lebih dari 20 – 28 minggu
• Misoprostol 100 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan batang laminaria selama 12 jam.
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
• Kombinasi cara pertama dan ketiga untuk janin hidup maupun janin mati.
• Kombinasi cara kedua dan ketiga untuk janin mati.
Catatan: dilakukakan histerotomi bila upaya melairkan pervaginam dianggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu, dengan sepengetahuan konsulen.
4) Pengakhiran kehamilan jika lebih dari 28 minggu kehamilan
• Misoprostol 50 mg intravaginal, yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
• Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam sebelum induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada KPD).
• Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan multigravida, 40 tetes untuk grande multigravida sebanyak 2 labu.
• Kombinasi ketiga cara diatas.
Catatan: dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan.
2 .periksa ulangan (follow up)
Dilakukan kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari. Dilakukan pemeriksaan nifas seperti biasa. Mengkaji ulang tentang keadaan psikologis, keadaan laktasi (penghentian ASI), dan penggunaan alat kontrasepsi.
DAFTAR
PUSTAKA
1)
Cunningham,
F. Gary [et.al..]. 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC
2)
Harrison .
1999. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC
3)
Prawirohardjo,
Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta
: YBP – SP
4)
Mansjoer A,et
al. 2001. Kapita Selekta. Jakarta
: Penerbit Media Aesculapius FKUI
5)
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP
6)
Norwitz,
Errol dan John O Schorge. 2008. At A Glance Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.
7)
Moechtar R.
Pedarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta :Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1998; 279
8)
WHO. Managing
Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva : WHO, 2003. 518-20.
9)
K. Varney, helen. 2006. Buku ajar asuhan kebidanan. Jakarta : EGC
No comments:
Post a Comment