Pemantauan Kala III
A.
Kontraksi uterus : bentuk uterus, intensitas.
B.
Robekan jalan lahir / laserasi, rupture perineum.
C.
Tanda vital dan Personal Hygiene
Ø Tekanan darah bertambah
tinggi dari sebelum persalinan
Ø Nadi bertambah cepat
Ø Temperatur bertambah
tinggi
Ø Respirasi berangsur normal
Ø Gastrointestinal normal,
pada awal persalinan mungkin muntah
A. Pemantauan Kontraksi
Seperti diketahui
bahwa otot rahim terdiri atas tiga lapis yang teranyam dengan sempurna yaitu,
lapisan otot longitudinal dibagian luar, lapisan otot sirkuler dibagian dalam,
dan lapisan otot menyilang diantara keduanya. Dengan susunan demikian, pembuluh
darah yang terdapat diantara otot rahim akan tertutup rapat saat terjadinya
kontraksi postpartum sehingga menghindari perdarahan.
Pada saat inpartu perlu dilakukan observasi yang seksama karena tertutupnya pembuluh darah mengurangi oksigen ke peredaran darah retroplasenter, sehingga dapat menimbulkan asfiksia intrauterin. Dengan demikian pengawasan dan pemeriksaan djj segera setelah kontraksi rahim, terutama pada kala 2, sangat penting sehingga dengan cepat dapat diketahui terjadinya asfiksia janin. Kontraksi otot rahim bersifat otonom artinya tidak dapat dikendalikan oleh parturien, sedangkan serat saraf simpstis dan parasimpatis hanya bersifat koordinasi.
Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:
Pada saat inpartu perlu dilakukan observasi yang seksama karena tertutupnya pembuluh darah mengurangi oksigen ke peredaran darah retroplasenter, sehingga dapat menimbulkan asfiksia intrauterin. Dengan demikian pengawasan dan pemeriksaan djj segera setelah kontraksi rahim, terutama pada kala 2, sangat penting sehingga dengan cepat dapat diketahui terjadinya asfiksia janin. Kontraksi otot rahim bersifat otonom artinya tidak dapat dikendalikan oleh parturien, sedangkan serat saraf simpstis dan parasimpatis hanya bersifat koordinasi.
Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:
1.
Amplitudo
Ø Kekuatan his diukur dengan mm Hg
Ø Cepat mencapai puncak dan diikuti relaksasi yang tidak lengkap
sehingga kekuatannya tidak mencapai 0 mm Hg.
Ø Setelah kontraksi otot rahim mengalami retraksi (teidak kembali
kepanjang semula).
2.
Frekuensi
Ø Jumlah terjadinya his selama 10 menit
3.
Durasi his
Ø Lamanya his terjadi pada setiap saat
Ø Diukur dengan detik
4.
Interval His
Ø Tenggang waktu antara 2 his
5.
Kekuatan His
Ø Perkalian antar amplitudo dengan frekuensi yang ditetapkan dengan
satuan Montevideo.
Aktivitas
kontraksi rahim (his) mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1. Saat Hamil
Perubahan perimbangan estrogen dan progesteronb menimbulkan
kontraksi otot rahim dengan sifat tidak teratur menyeluruh, tidak nyeri dan
berkekuatan 5 mm Hg yang disebut dengan kontraksi Braxton hicks. Makin tua
kehamilan, kontraksi Braxton Hicks makin sering terjadi sejak umur kehamilan 30
minggu. Kekuatan kontraksi tersebut akan menjadi kekuatan his dalam persalinan.
2. Kekuatan His kala pertama
Sifat kontraksi otot rahim pada kala pertama adalah:
a.
Kontraksi bersifat simetris
b.
Fundal dominan, artinya bagian
fundus uteri sebagai pusat dan mempunyai kekuatan yang paling besar.
c.
Involunter artinya tidak dapat
diatur oleh parturien
d.
Intervalnya makin lama makin
pendek
e.
Kekuatannya makin besar dan
pada kala pengusiran diikuti dengan refleks mengejan.
f.
Diikuti retraksi artinya
panjang otot rahim yang telah berkontraksi tidak akan kembali kepanjang semula.
g.
Setiap kontraksi dimulai dengan
pace maker yang terletak sekitar insersi tuba, dengan arah perjalaran ke daerah
serviks uteri dengan kecepatan 2 cm/detik
h.
Kontraksi rahim menimbulkan
rasa sakit pada pinggang, daerah perut daan dapat menjalar kedaerah paha.
Distribusi susunan otot rahim ke arah serviks yang semakin berkurang
menyebabkan serviks bersifat pasif, sehingga terjadi keregangan/penipisan,
seolah-olah janin terdorong kearah jalan lahir. Bagian rahim yang berkontraksi
dengan yang menipis dapat diraba atau terlihat, tetapi tidak melebihi batas
setengah pusat simfisis.
Pada kala pertama, amplitudo sebesar 40 mm Hg, menyebabkan pembukaan serviks, interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik. Akhir kala pertama ditetapkan dengan kriteria yaitu, pembukaan lengkap, ketuban pecah, dan dapat disertai refleks mengejan.
Pada kala pertama, amplitudo sebesar 40 mm Hg, menyebabkan pembukaan serviks, interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik. Akhir kala pertama ditetapkan dengan kriteria yaitu, pembukaan lengkap, ketuban pecah, dan dapat disertai refleks mengejan.
3. Kekuatan His kala kedua (pengusirana)
Kekuatan his pada akhir kala pertama atau permulaan kala dua
mempunyai amplitudo 60 mm Hg, interval 3 sampai 4 menit dan durasi berkisar 60
sampai 90 detik.
Kekuatan his dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang bersifat pasif. Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian terendah, menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek mengejan. Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah sehingga terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium. Selanjutnya kekuatan his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.
Untuk meningkatkan kekuatan his dan mengejan lebih berhasil guna, posisi parturien sebagai berikut:
Kekuatan his dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang bersifat pasif. Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian terendah, menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek mengejan. Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah sehingga terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium. Selanjutnya kekuatan his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut lahir ubun-ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.
Untuk meningkatkan kekuatan his dan mengejan lebih berhasil guna, posisi parturien sebagai berikut:
Ø Badan dilengkungkan sehingga dagu menempel pada dada.
Ø Tangan merangkul paha sehingga pantat sedikit terangkat yang
menyebabkan pekebaran pintu bawah panggul melalui persedian sacro coccygeus.
Ø Dengan jalan demikian kepala bayi akan ikut serta membuka diafragma
pelvis dan vulva perenium semakin tipis.
Ø Sikap ini dikerjakan bersamaan dengan his dan mengejan, sehingga
resultante kekuatan menuju jalan lahir.
4. Kekuatan his (kontraksi) rahim pada kala ketiga
Setelah istirahat sekitar 8 sampai 10 menit rahim berkontraksi untuk
melepaskan plasenta dari insersinya, dilapisan Nitabusch. Pelepasan plasenta
dapat dimulai dari pnggir atau dari sentral dan terdorong kebagian bawah rahim.
Untuk melahirkan plasenta diperlukan dorongan ringan secara crede.
5. Kekuatan his pada kala IV
Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo
sekitar 60 sampai 80 mm Hg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval
pembuluh darah tertutup rapat dan terjadi pembentukan trombus terjadi
penghentian pengeluaran darh postpartum. Kekuatan his dapat diperkuat dengan
memberi obat uterotonika. Kontraksi diikuti saat menyusui bayi bayi sering
dirasakan oleh ibu postpartum, karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar
hipofisis posterior.
Pengeluaran oksitisin sangat penting yang berfungsi:
• Merangsang otot plos yang terdapat disekitar alveolus kelenjar mamae, sehingga ASI dapat dikeluarkan.
• Oksitosin merangsang kontraksi rahim.
• Oksitosin mempercepat involusi rahim.
• Kontraksi otot rahim yang disebabkan oksitisin mengurangi perdarahan postpartum
Dalam batas yang wajar maka rasa sakit postpartum tidak memerlukan pengobatan serta dapat dibatasi dengan sendirinya.
Pengeluaran oksitisin sangat penting yang berfungsi:
• Merangsang otot plos yang terdapat disekitar alveolus kelenjar mamae, sehingga ASI dapat dikeluarkan.
• Oksitosin merangsang kontraksi rahim.
• Oksitosin mempercepat involusi rahim.
• Kontraksi otot rahim yang disebabkan oksitisin mengurangi perdarahan postpartum
Dalam batas yang wajar maka rasa sakit postpartum tidak memerlukan pengobatan serta dapat dibatasi dengan sendirinya.
B. Robekan Jalan Lahir dan
Perinium
Robekan perineal sering
terjadi setelah proses persalinan, khususnya pada wanita primipara.
Robekan
derajat satu kadang kala bahkan tidak perlu untuk dijahit, robekan derajat dua
biasanya dapat dijahit dengan mudah dibawah pengaruh analgesia lokal dan
biasanya sembuh tanpa komplikasi. Robekan derajat tiga dapat mempunyai akibat
yang lebih serius dan dimana pun bila memungkinkan harus dijahit oleh ahli obstetri,
dirumah sakit dengan peralatan yang lengkap, dengan tujuan mencegah
inkontinensia vekal dan atau fistula fekal.
Episitomi
sering dilakukan, tetapi insidennya berbeda-beda. Episitomi midline lebih mudah
dijahit dan memiliki keuntungan meninggalkan sedikit jaringan perut, sementara
episitomi medioteral lebih efektif minghindari spinkter anal dan rektum. Alasan
yang baik untuk melakukan episitomi selama persalinan normal hingga kini dapat
berupa: tanda-tanda gawat janin; kemajuan persalinan yang tidak cukup, ancaman
robekan derajat tiga (termasuk robekan derajat tiga di persalinan sebelumnya).
Ketiga indikasi tersebut benar, meskipun perkiraan robekan derajat tiga sangat sulit. Angka kejadian robekan derajat tiga sekitar 0,4% sehingga diaknosis ”ancaman robekan tiga” seharusnya hanya dibuat kadang-kadang, kalau tidak diagnosis tersebut tiodak ada artinya. Selain yang sudah disebutkan, diberikan untuk penggunaan episiotomi pada semua kasus. Hal ini termasuk argument bahwa episiotomi menggantikan irisan pembedahan yang lurus dan rapi untuk laseradsi yang tidak beraturan, lebih mudah diperbaiki, dan sembuh lebih baik sari robekan (cunningham et al, 1989); penggunaan episiotomi pada semua kasus mencegah trauma pariniel yang serius; episiotomi mencegah trauma pada kepala janin; dan episiotomi mencegah trauma pada otot dasar panggul sehingga mencegah stres urinarius yang inkontinen. Penggunaan episiotomi pada ksus dihubungkan dengan tingkat trauma pada pariniel yang lebih tinggi dan lebih sedikit wanita yang periniumnya masih utuh. Kelompok-kelompok dengan penggunaan episiotomi pada semua kasus dan penggunaan yang direstriksi mengalami sejumlah nyeri perinial yang sebanding, yang dikaji pada 10 hari dan 3 bulan pasca partum. Tidak ada bukti tentang efek perlindungan episiotomi pada kondisi janin. Dalam studi – tindak lanjut, hingga 3 tahun pasca partum tidak ada pengaurh penggunaan episiotomi pada semua kasus terhadap inkontinen urine yang ditemukan. Dalam studi observasi dari 56.471 persalinan yang bantu oleh oleh bidan, insiden robekan derajat tiga sebesar 0,4% jika episiotopmi tidak dilakukan dan presentasenya sama besar dengan episiotomi mediolatral; insiden dengan episiotomi midline sebnesar 1,2% (pel dan heres, 1995).
Pemberian perawatan yang melakukan episotomi harus mampu untuk menjahit robekan dan episiotomi secara tepat. Ia harus dilataih untuk hal tersebut. Episiotomi harus dilakukan dan dijahti dibawah pengaruh anastese lokal, dengan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi HIV dan hepatitis.
Ketiga indikasi tersebut benar, meskipun perkiraan robekan derajat tiga sangat sulit. Angka kejadian robekan derajat tiga sekitar 0,4% sehingga diaknosis ”ancaman robekan tiga” seharusnya hanya dibuat kadang-kadang, kalau tidak diagnosis tersebut tiodak ada artinya. Selain yang sudah disebutkan, diberikan untuk penggunaan episiotomi pada semua kasus. Hal ini termasuk argument bahwa episiotomi menggantikan irisan pembedahan yang lurus dan rapi untuk laseradsi yang tidak beraturan, lebih mudah diperbaiki, dan sembuh lebih baik sari robekan (cunningham et al, 1989); penggunaan episiotomi pada semua kasus mencegah trauma pariniel yang serius; episiotomi mencegah trauma pada kepala janin; dan episiotomi mencegah trauma pada otot dasar panggul sehingga mencegah stres urinarius yang inkontinen. Penggunaan episiotomi pada ksus dihubungkan dengan tingkat trauma pada pariniel yang lebih tinggi dan lebih sedikit wanita yang periniumnya masih utuh. Kelompok-kelompok dengan penggunaan episiotomi pada semua kasus dan penggunaan yang direstriksi mengalami sejumlah nyeri perinial yang sebanding, yang dikaji pada 10 hari dan 3 bulan pasca partum. Tidak ada bukti tentang efek perlindungan episiotomi pada kondisi janin. Dalam studi – tindak lanjut, hingga 3 tahun pasca partum tidak ada pengaurh penggunaan episiotomi pada semua kasus terhadap inkontinen urine yang ditemukan. Dalam studi observasi dari 56.471 persalinan yang bantu oleh oleh bidan, insiden robekan derajat tiga sebesar 0,4% jika episiotopmi tidak dilakukan dan presentasenya sama besar dengan episiotomi mediolatral; insiden dengan episiotomi midline sebnesar 1,2% (pel dan heres, 1995).
Pemberian perawatan yang melakukan episotomi harus mampu untuk menjahit robekan dan episiotomi secara tepat. Ia harus dilataih untuk hal tersebut. Episiotomi harus dilakukan dan dijahti dibawah pengaruh anastese lokal, dengan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi HIV dan hepatitis.
Sedangkan
kerusakan perineal adalah salah satu trauma yang paling sering diderita oleh
wanita selama melahirkan, bahkan selama proses persalinan dan pelahiran yang
dianggap normal. Ada beberapa teknik dan praktek yang diarah untuk mengurangi
kerusakan atau memodifikasikan keproporsi yang dapat diatur. Menjaga perinium
selama melahirkan kepala janin: jaari-jari satu tangan (biasanya yang kanan
menyangga perinium, sementrara tangan kiri melakukan tekanan pada kep[ala janin
untuk mengendalikan kecepatan crowning(ketika sekmen besar dari kepal janin
terlihat diorificium vaginae, perinum merenggang) dengan demikian mencoba untuk
mencegah atau mengurangi kerusakan pada jaringan perinial. Kemungkinan bahqwa
dengan manuver tersebut robeknya perinial dapat dicegah, tetapi ada kemungkinan
juga bahwa tekanan pada kepala janin menghalangi perluasan pergerakan kepala
dan mengalihkannya dari lengkung pubis ke perinium, sehingga meningkatkan
kemungkinan kerusakan perineal. Oleh karena belum ada evaluasiformal mengenai strategi
ini atau sebaliknya; tidak menyentuh perinium atau kepala selama fase
melahirkan, tidak mungkin untuk memutuskan strategi mana yang di pilih. Praktik
menjaga perineum dengan tangan ahli obstetri dapat diterapkan dengan lebih
mudah jika wanita pada posisi supine. Jika ia pada posisi tegak lurus penolong
persalinan tidak dapat menyokong perineum, atau dipaksa untuk mengikuti
strategi ”tanpa sentuhan”.
Teknik lain yang bertujuan mengurangi trauma pada perineum ialah memijat perineum selama akhir kala dua persalinan, jadi mencoba meregangkan jaringan. Teknik tersebut tidak pernah dievaluasi secara tepat, tetapi ada keraguan tentang keuntungan memijat jaringan terus – menerus yang vaskularisasinya sudah banyak dan edema.
Manuver lain, yang efektivitasnya belum cukup terbukti, ialah metode yang bervariasi untuk melahirkan bahu dan perut bayi setelah kelahiran kepala. Tidak jelas apakah manuver ini selalu diperlukan dan apakah tepat. Data penelitian tentang masalah ini tidak tersedia. Namun, National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford baru – baru ini mengadakan uji coba terkontrol acak tentang ”Perawatan Perineum saat Melahirkan – Menyerah atau Siap (Hands On Or Poised)”, atau disebut juga studi ”HOOP”, yang memberikan data mengenai efek pendekatan yang berbeda untuk melahirkan kepala dan bahu janin pada perineum (McCandlish, 1996).
Teknik lain yang bertujuan mengurangi trauma pada perineum ialah memijat perineum selama akhir kala dua persalinan, jadi mencoba meregangkan jaringan. Teknik tersebut tidak pernah dievaluasi secara tepat, tetapi ada keraguan tentang keuntungan memijat jaringan terus – menerus yang vaskularisasinya sudah banyak dan edema.
Manuver lain, yang efektivitasnya belum cukup terbukti, ialah metode yang bervariasi untuk melahirkan bahu dan perut bayi setelah kelahiran kepala. Tidak jelas apakah manuver ini selalu diperlukan dan apakah tepat. Data penelitian tentang masalah ini tidak tersedia. Namun, National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford baru – baru ini mengadakan uji coba terkontrol acak tentang ”Perawatan Perineum saat Melahirkan – Menyerah atau Siap (Hands On Or Poised)”, atau disebut juga studi ”HOOP”, yang memberikan data mengenai efek pendekatan yang berbeda untuk melahirkan kepala dan bahu janin pada perineum (McCandlish, 1996).
C. Tanda Vital dan Hygiene
Banyak perubahan
fisiologis normal yang terjadi selama kala astu dan dua persalinan, yang
berakhir ketika plasenta dikeluarkan dan tanda-tanda vital wanita kembali
ketingkat sebelum persalinan selama kala tiga:
1.
Tekanan darah
Tekanan sistolik dan
distolik mulai kembali ketingkat sebelum persalian. Peningkatan atau penurunan
tekanan darah masing-masing merupakan indikasi gangguan hipertensi pada
kehamilan atau syok. Peningkatan tekanan sistolik dengan tekanan diastolik
dalam batas normal dapat mengindikasikan ansietas atau nyeri.
2.
Nadi
Nadi secara bertahap kembali ketingkat
sebelum melahirkan. Peningkatan denyut nadi dapat menunjukkan infeksi, syok,
ansietas, atau dehidrasi.
3.
Suhu
Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi atau dehidrasi.
Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi atau dehidrasi.
4.
Pernapasan
Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunujukan syok atau ansietas.
Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga dan lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada kejadian perdarahan.
Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat menunujukan syok atau ansietas.
Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga dan lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada kejadian perdarahan.
Daftar Pustaka :
Sumarah, Widyastuti Yani,
Wiyati Nining, (2008).Perawatan Ibu Bersalin(Asuhan Kebidanan Pada Ibu
Bersalin), Fitramaya.Yogyakarta.
Prawirohardjo, Sarwono,
(2009).Ilmu Kebidanan, Bina
Pustaka.Jakarta.
No comments:
Post a Comment